Postingan

Waktu (L)uang

Secangkir sabtu yang tenang. Kicauan burung, senda gurau anak-anak tetangga dan dengungan pompa air menjadi piguraku pagi ini. Sebentar lagi, ibu tukang sayur akan lewat depan rumah, menggunakan motor bebek lengkap dengan lengkingan khasnya, "...Yur..sayuurrr". Laptop yang biasanya aku simpan di kantor, entah kenapa, kali ini aku bawa pulang. Mungkin memang hari ini, dari ribuan alternatif takdir yang disajikan Tuhan, secara tidak sadar aku memilih takdir untuk duduk di meja makan dan berhadap-hadapan dengan laptop sepanjang pagi ini, sendiri. Namun, kata "sendiri" di jaman internet memang jadi agak sedikit kabur. Terutama dalam pengertian non fisik. Sebagai pembanding, definisi dari kata "sendiri" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) -yang entah kenapa aku sematkan di telpon genggamku- salah satunya adalah, seorang diri;tidak dengan orang lain. Pertanyaannya adalah apakah memang benar ada suatu kondisi dimana saya sedang mutlak "sendiri"

Ketidak terdugaan yang menegaskan apa yang sudah diduga

 "Saudara-saudaraku, kalau memungkinkan, segera pulang ke rumah" Kurang lebih begitu Kakakku menulis di group WA keluarga. Aku terkesiap, dan menyampaikan hal ini ke istriku. Dia telah selesai melakukan akupunktur, dan hatiku semakin gelisah. "Yuk pulang", tegas istriku. Istirku mencari tiket pesawat melalui internet, aku menghubungi beberapa teman. Aku ingat Anne, siapa tahu bisa membantu aku melalui suaminya yang bekerja di rumah sakit, untuk melakukan test PCR (polymerase chain reaction). Tuhan memberkati kedua pasangan ini. Suaminya Anne mau membantu, padahal dia saat itu baru saja pulang ke rumah untuk istirahat. Singkat kata, kurang lebih jam dua belas malam, aku dan istriku berhasi mendapat surat keterangan hasil PCR, hasilnya negatig. Test PCR ini diperlukan sebagai salah satu syarat penerbangan di era pandemi. Istriku memesan tiket pesawat paling padi dari Palu menuju Jakarta. Tidak lupa juga, setelah subuh aku mengabari atasanku dan meminta tolong Driver k

Hal yang diketahui pasti tiba, tetap saja menyesakkan dada.

Sebuah malam di kota Palu. Tidak terlampau malam, karena seingatku adzan Isya tidak terlalu jauh dari saat aku mengangkat video call dari rumah, kakak perempuanku menelpon. Istriku sedang mejalani akupunktur, yang beberapa bulan terakhir dilakukan secara rutin. Ruang tunggu tempat akupuntur ini  tidak terlalu luas, hanya tersedia tiga kursi plastik berseberangan dengan satu meja tempat memerika tensi, satu kursi plastik disamping meja hanya digunakan saat ada pasien yang baru tiba. Resepsionisnya bertugas mencatat pendaftaran pasien dan memeriksa tekanan darah, sedang asyik dengan gawainya. Hal yang lumrah di masa manusia tidak bisa lepas dari gawai, dunia begitu dekat dan cepat berlalu diantara mata dan jempol tangan. Petaka kadang terbit karena mudah dan cepatnya kita bereaksi terhadap apa yang terjadi di dunia dan disajikan di layar gawai. Aku beranjak keluar dari ruang tunggu. Cahaya dari lampu merah tidak terlalu berhasil menerangi jalanan depan tempat akupunktur ini, begitu pun s

Rahang Tuna (1)

Oktober Dua Ribu Tujuh Belas.  Perintah perusahaan tiba, maksimal minggu depan sudah berada di tempat baru. Bergegas, mengepak barang, pesan tiket pesawat, memberi kabar kepada orang tua. "Manado?" suara ibu melalui telpon genggam. Kekhawatiran khas seorang ibu kental terasa dari nada suaranya. "Kamu dihukum? kenapa dari sekian ratus ribu perusahaan, harus kamu yang ke Manado?". Persisnya pesawat apa yang kugunakan aku lupa -salah sendiri malas nulis- mungkin pesawat Garuda, karena toh dapat biaya pindah dari perusahaan. Atau bisa jadi, pesawat Lion biar murah. Maaf saya lupa. Pun demikian, tentu saja ada satu peristiwa yang selalu menjadi salah satu bahan gurauan di waktu senggang. Aku dan istriku telah tiba di lobby kedatangan Bandara Samratulangi Manado, lengkap dengan koper masing-masing. Mata istriku berbinar-binar, jalan-jalan ke tempat baru selalu berhasil melukis kebahagian di jendela hatinya itu. Beberapa penjemput membuat tulisan di kertas kecil, menulis n

Apa Kabar

Terhenyak, blog ini terabaikan nyaris lima tahun. Tulisan terakhirku "Selamat Tahun Baru 2014", dan sekarang-saat aku menulis ini- sudah tanggal 14 Februari 2019. Lima tahun berlalu. Dalam periode lima tahun tentu banyak yang berubah. Pertama, berat badan. Saat ini menyentuh angka delapan puluh lima kilogram, lima tahun lalu masih seputar enam puluh tujuh puluhan. Kedua, tempat kerja. Tahun baru 2014 masih di Cikarang Bekasi. Kemudian di Jakarta sampai Oktober 2017, lalu Manado sampai sekarang. Ketiga, Facebook dan Twitter sudah dimatikan. Media sosial tersisa Instagram. Sudah, cukup segini dulu, mudah-mudahan akan rajin menulis di blog kembali.

Banjir 2014

Adalah kita yang melempar sampah keluar dari kaca mobil, adalah kita yang melempar puntung rokok ke selokan, adalah kita yang menebang pohon untuk mendirikan rumah adalah kita yang mengolok-olok peringatan "jangan buang sampah sembarangan" adalah kita yang enggan menggunakan kantong plastik yang sama untuk setiap belanja adalah kita yang mencibir program satu milyar pohon

Selamat Tahun Baru 2014

Hari terakhir di akhir tahun 2013.. Jam sudah menunjukkan jam 19.00 WIB belum ada tanda-tanda pekerjaan selesai, masih berputar-putar diskusi, mencari solusi dengan mempertimbangkan aspek risiko..mana tindakan dengan risiko terkecil, apa win-win solutionnya ?.. Jam 19.00 WIB adalah pemberangkatan terkakhir Bis Prima Jasa jurusan Jababeka - Bandung.. tik..tok..tik..tok..panikum Perpeurium!! 19.30 WIB istri menelpon dari Bandung sana, penuh dengan nada kekecewaan..untuk kesekian kalinya ga sempat bersama di pergantian tahun.