Rahang Tuna (1)

Oktober Dua Ribu Tujuh Belas. 

Perintah perusahaan tiba, maksimal minggu depan sudah berada di tempat baru. Bergegas, mengepak barang, pesan tiket pesawat, memberi kabar kepada orang tua. "Manado?" suara ibu melalui telpon genggam. Kekhawatiran khas seorang ibu kental terasa dari nada suaranya. "Kamu dihukum? kenapa dari sekian ratus ribu perusahaan, harus kamu yang ke Manado?".

Persisnya pesawat apa yang kugunakan aku lupa -salah sendiri malas nulis- mungkin pesawat Garuda, karena toh dapat biaya pindah dari perusahaan. Atau bisa jadi, pesawat Lion biar murah. Maaf saya lupa. Pun demikian, tentu saja ada satu peristiwa yang selalu menjadi salah satu bahan gurauan di waktu senggang.

Aku dan istriku telah tiba di lobby kedatangan Bandara Samratulangi Manado, lengkap dengan koper masing-masing. Mata istriku berbinar-binar, jalan-jalan ke tempat baru selalu berhasil melukis kebahagian di jendela hatinya itu. Beberapa penjemput membuat tulisan di kertas kecil, menulis nama orang atau instansi asal orang yang akan dijemput. Namun, tidak ada namaku atau nama perusahaanku. Lalu, sebuah Avanza hitam berhenti, seorang lelaki pertengahan tigapuluhan keluar sedikit kikuk dan tergesa. Menyebut nama perusahaan tempatku bekerja, aku mengangguk dan mengiyakan.

Dalam perjalanan menuju kota Manado dari Bandara (tidak lama, kurang lebih setengah jam), Nando nama penjemputku bercerita sekaligus memohon maaf. Ternyata, sebelum menemukanku di lobby, dia salah jemput orang. Nando menyalahkan orang tersebut. padahal katanya, dia sudah bertanya namaku, dan orang itu mengangguk. Aku tertawa kecil, memang namaku agak kurang pasaran, dan sering tertukar dengan nama yang mirip. Singkat cerita, orang yang salah jemput ini baru merasa keliru kurang lebih lima menit setelah perjalanan, karena basa-basi yang terbit dalam percakapan diketahui bahwa orang itu bukan aku, dan mengira mobil yang Nando bawa ini adalah angkutan umum.

Kami berdua, -berdua dengan istriku maksudnya, bukan berdua dengan Nando- menginap di Hotel Swiss Bell, perusahaan memberikan waktu menginap di hotel maksimal selama sepuluh hari atau sampai aku mendapatkan rumah kontrakan untuk tinggal selama bekerja di Manado. Kantor tempatku bekerja ada di jalan Sarapung, megah dan besar untuk ukuran kota ini.

Terkait dengan Manado, cerita-cerita atau katakanlah stigma yang sampai di telingaku adalah kecantikan orang Manado yang legendaris. "tiga B", kata atasanku di Jakarta," Bunaken, Bubur Manado, dan Bibir Manado". 

Kita mulai dari B yang ketiga, karena ini yang paling kuat stigmanya. 

"Cantik itu relatif, jelek itu mutlak", candaan waktu masih mahasiswa. Dapatlah dikatakan, ukuran cantik yang umum di mata orang Nusantara yang pertama adalah berkulit putih. Anggap saja begitu, karena produk-produk kecantikan yang paling laku salahsatunya yang bisa membuat kulit sawo matang menjadi lebih putih. Entah itu white lotion, suntik vitamin C dan lain sebagainya yang penting lebih putih.

 Ironis memang, teman-teman dari utara yang betul-betul berkulit putih menghabiskan waktu dan energinya untuk berjemur di pantai agar sedikit gelap. 

Tapi, hidup kan begitu, apa yang ada dan dimiliki sendiri lupa disyukuri, apa yang ada di orang lain pelan tapi pasti diamati, ditiru dan dimodifikasi. Teciptalah candaan " Eh Nur, Muka lu siang tapi leher lu malem".





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidak terdugaan yang menegaskan apa yang sudah diduga

Hal yang diketahui pasti tiba, tetap saja menyesakkan dada.

Pulang