Waktu (L)uang

Secangkir sabtu yang tenang. Kicauan burung, senda gurau anak-anak tetangga dan dengungan pompa air menjadi piguraku pagi ini. Sebentar lagi, ibu tukang sayur akan lewat depan rumah, menggunakan motor bebek lengkap dengan lengkingan khasnya, "...Yur..sayuurrr".

Laptop yang biasanya aku simpan di kantor, entah kenapa, kali ini aku bawa pulang. Mungkin memang hari ini, dari ribuan alternatif takdir yang disajikan Tuhan, secara tidak sadar aku memilih takdir untuk duduk di meja makan dan berhadap-hadapan dengan laptop sepanjang pagi ini, sendiri.

Namun, kata "sendiri" di jaman internet memang jadi agak sedikit kabur. Terutama dalam pengertian non fisik. Sebagai pembanding, definisi dari kata "sendiri" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) -yang entah kenapa aku sematkan di telpon genggamku- salah satunya adalah, seorang diri;tidak dengan orang lain.

Pertanyaannya adalah apakah memang benar ada suatu kondisi dimana saya sedang mutlak "sendiri" atau dengan kata lain "tidak dengan orang lain" ? apakah kehadiran notifikasi WA (WhatsApp) yang muncul kapan saja, dua puluh empat jam, tujuh hari dalam seminggu itu tidak bisa dimasukkan ke dalam lingkup kalimat "dengan orang lain"?

Gawai dengan segala kemudahan dan ketersediaannya, pada situasi dan kondisi tertentu kadang aku anggap menjadikan diri selalu bersama dengan orang lain. Bukan tidak jarang, suasana hati yang sedang luar biasa renyah dan tenang, luluh lantak karena kemuculan sebuah pesan dari seseorang di group WA. Tanpa ada daya untuk menolak munculnya pesan sama sekali, tiba-tiba muncul maya didepanku berujar sesuatu dan menempel di pikiran.

Mari kita bayangkan kejadian di masa kecil, dimana ada saatnya aku memiliki kuasa untuk memilah dan memilih  siapa yang dapat muncul dihadapanku, berkomunikasi denganku dan lain-lain. 

"Junuuuud, main yuk", teriak sahabat-sahabat kecilku dari depan rumah. Aku mengintip dari jendela kamar depan rumah, dari celah yang tidak memungkinkan teman-temanku melihat keberadaanku dari luar. Aku memperhatikan mereka. Diam, mengintai tanpa suara, memberikan kabar senyap kepada mereka seolah-olah aku tidak ada di rumah. Rencanaku berhasil.

Setelah beberapa kali memanggil, dan aku tidak merespon sama sekali. Mereka pergi, sayup kudengar keluhan dan omelan saat mereka melangkahkan kaki menjauh dari cakupan pandanganku. Tentu aku harap mereka berpikir aku tidak ada di rumah, mungkin besok saat di sekolah mereka akan memastikan hal ini. Aku mungkin hanya mengangguk-anggukan kepala, membiarkan mereka melanjutkan apa yang muncul di pikirannya, dan aku sengaja tidak akan berucap apa-apa, tidak mengiyakan dan juga tidak membantah. Diam saja, karena berbohong pada teman itu tidak baik.

Berbeda halnya dengan era WA saat ini, sang pencipta aplikasi teliti betul untuk memberikan perangkat agar si pembuat pesan mengetahui apakah aku sudah membaca atau tidak. Betul, ada trik untuk menghilangkannya tetapi berbohong itu tidak baik, menurutku. Munculah kewajiban untuk merespon pesan, lalu lahirlah kalimat sekedarnya " Baik pak". Kalimat yang sering hanya untuk menggugurkan kewajiban merespon dan memberi tahu bahwa pesan telah tersampaikan  secara ringan tanpa ada tanggung jawab yang terkandung di dalam kalimat "Baik Pak" ini.

Kemudian, berurutan akan hadir pesan "Baik Pak" dari semua penghuni group, bertubi-tubi.

Selalu ada orang lain bukan? 

"Hidup mah gitu gitu aja. Dari kesulitan ke kesulitan. Gak punya waktu luang, tapi lu punya uang.Yang punya waktu luang, gak punya uang", tulis kawan lamaku di group WA yang lain. Sekumpulan peristiwa yang dia alami sepanjang perjalanan kehidupannya melahirkan kalimat seperti itu, dan kurasa, pada beberapa kesempatan aku pun bisa dikatakan sependapat dengan sebagian pernyataanya.

Tentu saja, tidak perlu aku respon "Baik Pak".

Secangkir kopi habis di sabtu pagi yang tenang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidak terdugaan yang menegaskan apa yang sudah diduga

Hal yang diketahui pasti tiba, tetap saja menyesakkan dada.

Pulang