Ketidak terdugaan yang menegaskan apa yang sudah diduga

 "Saudara-saudaraku, kalau memungkinkan, segera pulang ke rumah"

Kurang lebih begitu Kakakku menulis di group WA keluarga. Aku terkesiap, dan menyampaikan hal ini ke istriku. Dia telah selesai melakukan akupunktur, dan hatiku semakin gelisah. "Yuk pulang", tegas istriku. Istirku mencari tiket pesawat melalui internet, aku menghubungi beberapa teman. Aku ingat Anne, siapa tahu bisa membantu aku melalui suaminya yang bekerja di rumah sakit, untuk melakukan test PCR (polymerase chain reaction).

Tuhan memberkati kedua pasangan ini. Suaminya Anne mau membantu, padahal dia saat itu baru saja pulang ke rumah untuk istirahat. Singkat kata, kurang lebih jam dua belas malam, aku dan istriku berhasi mendapat surat keterangan hasil PCR, hasilnya negatig. Test PCR ini diperlukan sebagai salah satu syarat penerbangan di era pandemi. Istriku memesan tiket pesawat paling padi dari Palu menuju Jakarta. Tidak lupa juga, setelah subuh aku mengabari atasanku dan meminta tolong Driver kantor untuk mengantarku ke bandara.

Kami tiba di Jakarta, tidak terlalu lama di rumah mertua, kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke rumah. Sekalian menjemput keponakanku yang bekerja di Jakarta. Sepanjang perjalanan, meski tanganku kukuh memegang kemudi, pikiranku melayang-layang kemana-mana dan megap-megap rasanya menepis pikiran terburuk yang timbul tenggelam hadir dan mengganggu.

Kami beristirahat dulu di KM 82 tol Cipularang, makan siang. "Dimana?" pesan kakakku muncul di layar gawai. Disusul dengan Video Call, rupanya saudara-saudara sudah berkumpul, sepintas kulihat Ibu terbaring di kasur dikelilingi saudara-saudaraku. Jantungku berdetak kencang, ragaku melayang antara ada dan tiada. Kuteguhkan hati, berdiri tegak dan mengajak istri dan keponakanku untuk melanjutkan perjalanan.

Jalanan terasa aneh, ruas jalan tol yang lurus, luas dan ujung jalan di pandangan yang menghilang di bebukitan bumi Parahyangan mengaduk-aduk perasaanku. Aku lebih banyak diam, istriku sesekali memecah keheningan dengan mencoba membuka pembicaraan dengan keponakan-keponakanku. Aku hanya sesekali menganggukkan kepala, mengiyakan dan beberapa kali menggelengkan kepala.

Kurang lebih sejam lagi waktu tempuh normal menuju rumah, nada panggil telpon genggamku berbunyi. Nama Kakak muncul di layar, video call. Munculah wajah cucu -anak dari keponakanku- yang usianya mungkin lima atau enam tahun, aku lupa tepatnya berapa. " Oom dimana, cepat..Nenek sudah dimandikan", lalu telpon dimatikan begitu saja.

Hening semakim membekap ruangan di dalam mobil. "Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun", gumamku.

"Iya",dalam anggukan pelanku, aku mengingat arti dari kalimat Inna Lillahi dst tersebut.

 "Sesunguhnya kita adalah milik Allah dan semuanya akan kembali pada Allah SWT".


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hal yang diketahui pasti tiba, tetap saja menyesakkan dada.

Pulang