Hal yang diketahui pasti tiba, tetap saja menyesakkan dada.

Sebuah malam di kota Palu.

Tidak terlampau malam, karena seingatku adzan Isya tidak terlalu jauh dari saat aku mengangkat video call dari rumah, kakak perempuanku menelpon. Istriku sedang mejalani akupunktur, yang beberapa bulan terakhir dilakukan secara rutin.

Ruang tunggu tempat akupuntur ini  tidak terlalu luas, hanya tersedia tiga kursi plastik berseberangan dengan satu meja tempat memerika tensi, satu kursi plastik disamping meja hanya digunakan saat ada pasien yang baru tiba. Resepsionisnya bertugas mencatat pendaftaran pasien dan memeriksa tekanan darah, sedang asyik dengan gawainya. Hal yang lumrah di masa manusia tidak bisa lepas dari gawai, dunia begitu dekat dan cepat berlalu diantara mata dan jempol tangan. Petaka kadang terbit karena mudah dan cepatnya kita bereaksi terhadap apa yang terjadi di dunia dan disajikan di layar gawai.

Aku beranjak keluar dari ruang tunggu. Cahaya dari lampu merah tidak terlalu berhasil menerangi jalanan depan tempat akupunktur ini, begitu pun saat lampu kuning bergantian dengan lampu hijau menyala, tetap muram. Meski tidak pekat gelap gulita, kurasa bentuk mukaku tidak terlampau jelas muncul di layar gawai Kakakku.

Ibu tampak duduk, dengan posisi tasyahud akhir. Biasanya setelah salam untuk menutup Sholat, akan dilanjutkan dengan zikir dan doa, tetapi posisi duduk masih sama seperti tasyahud akhir. Kakakku tampak berbisik di telinga ibu, memberi tahu aku sedang diseberang gawai. Mata Ibu tampak sendu dan lelah, maklumlah seceria apa pun Ibu, tak bisa juga melawan usia yang menggerogoti kesempurnaan jasmani.

Mata Ibu mencari, seolah memastikan bahwa yang nampak di layar gawai itu aku, anaknya. Aku bergerak mencari posisi yang lebih baik pencahayaanya. Tidak terlalu lama, Ibu mengenaliku, tersenyum dan berbisik lirih," Sholat".

Aku menganggukkan kepala. "Sudah makan Bu?" ucapku, signal kurasa tidak terlalu jelas, mungkin Ibu tidak mendengar pertanyaanku. Ibu hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku bantu memperjelas pertanyaanku dengan menggunakan tangan, menggerakan tangan seolah sedang makan. Sekali lagi Ibu tersenyum, senyum itu, senyum yang selalu menghangatkan ruhku, menyalakan semangat hidup untuk kesejuta kalinya. Tapi saat itu agak berbeda, senyumnya seakan berkata, "Ibu mau pergi dulu ya, baik-baik di rumah".

"Doakan Ibu, supaya sehat ya", kalimat terakhir Kakakku di ujung telpon. Hening tercipta saat kakakku mematikan sambungan. Udara di sekelilingku terasa padat, ada sesuatu yang menyempitkan dadaku. Lututku goyah, setetes air mata akhirnya jatuh juga setelah beberapa saat menggenang di kelopak mata. "jangan- jangan ini waktunya", gumamku dalam hati. "Tidak, Ibu baik-baik saja, sehat seperti biasa. Tekanan darahnya mungkin sedang naik, jadi wajar agak pusing," bantah diriku yang lain.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketidak terdugaan yang menegaskan apa yang sudah diduga

Pulang