Indonesia Juara?


Rambut keriting panjang sebahu, tinggi besar berkaos garis hitam merah,celana putih,kaos kaki putih dan sepatu hitam. Jendral lapangan tengah, mengatur ritme permainan,kadang tiba-tiba muncul sebagai penyerang lubang..dia lah yang mengusik mimpi-mimpiku,aku ingin seperti dia.


Awal sembilan puluh, saat celana pendek merah selutut berkawan dengan kemeja putih tangan pendek dengan saku di dada sebelah kanan, bertuliskan OSIS masih menjadi simbol usiaku yang baru seumur jagung. Aku berjalan menuju sekolah yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah,berjalan angkuh membayangkan seolah sekolah butut ini adalah stadion San Siro, suara berisik anak perempuan yang sedang bermain lompat tali seperti suara gemuruh penonton yang memadati megahnya San Siro, menyambut kedatangan sang mega bintang ke lapangan hijau,suara bekas velg mobil berkarat yang beralih menjadi lonceng sekolah seakan suara peluit wasit botak ,Collina.

Pertandingan menegangkan di mulai, kawanku sang ahli matematika,kubayangkan sebagai Marco Van Basten. Dengan kecerdasannya dia mampu menyelesaikan soal-soal berhitung dengan langkah-langkah yang mengejutkan, tepat seperti Basten yang membobol gawang Juventus dengan gaya back roll (Balik Bandung)..oi, dimanakah kawanku itu sekarang?..memasuki injury time, sebentar lagi pulang..guruku tercinta menantang murid-muridnya untuk menjawab pertanyaan yang telah beliau persiapkan,siapa yang bisa menjawab dengan cepat dan jawabannya tepat maka yang bersangkutan berhak untuk pulang lebih dulu. Sebuah tantangan yang mengasyikan bagi murid yang relatif pandai sekaligus menyebalkan bagi murid-murid penghuni dasar klasemen. Untunglah aku termasuk empat besar penghuni papan atas klasemen, walhasil tantangan guru ini lama-lama menjadi agak membosankan karena yang paling cepat pulang adalah murid yang itu-itu saja, mungkin saja beliau agak kecewa karena tantangan ini kurang berhasil merangsang penghuni papan bawah klasemen agar lebih rajin belajar, yang pada akhirnya malah meningkatkan kemampuan bersabar mereka untuk pulang terlambat, menunggu habisnya kesabaran sang guru yang memang pada akhirnya mau tidak mau harus membubarkan kelas.

Pulang sekolah dan tidak melakukan apapun adalah hal yang membosankan, tapi suara adzan Ashar menjadi adzan yang paling dinanti-nanti, karena selepas Ashar berarti waktunya bermain bola. Lapangannya terletak di sebuah bukit yang agak jauh dari rumah, lapangan cukup luas untuk ukuran kampung dengan asumsi ukuran lapangan bola yang disetujui FIFA dianggap ceteris paribus. Berlari-lari mengejar bola, bersitegang dengan lawan,marah-marah karena jika bola keluar lapangan, membutuhkan waktu yang agak lama untuk membawanya kembali ke lapangan maklumlah kiri kanan lapang adalah jurang semata. Meski lelah dengan luka di lutut,debu yang menempel di muka, senyum puas selalu terukir karena aku rasa suatu saat aku akan menjadi pemain bola seperti Ruud Gullit, memakai seragam kebesaran AC Milan, dengan gaji besar yang melebihi gaji kepala sekolah.. Huh, alangkah senangnya jika mencari uang dengan melakukan sesuatu yang disenangi.

Di rumah, ibuku sudah siap dengan senjata andalannya, sapu lidi! Hal pertama yang harus aku lakukan adalah cepat-cepat masuk ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam, karena jika telat masuk ke kamar mandi maka siap-siaplah sapu lidi itu menghajar pantat. Ibu kecewa karena beliau menginginkan aku menjadi insinyur termashyur seperti Habibi, menjadi pelajar teladan yang setiap waktu bergelut dengan buku, kuliah di ITB, untuk kemudian menjadi seorang pejabat di negeri ini atau dengan kata lain jangan jadi pemain bola.."jangan Nak, menjadi pemain bola bukan cita-cita yang bagus". Namun, kamar mandi bukanlah akhir kisah, Ibu masih menanti dengan sapu lidinya, aku harus mencari cara untuk cepat keluar dari kamar mandi, ganti baju, mengambil sarung dan kabur pergi ke Mesjid untuk berjamaah sholat Maghrib. Untunglah, kegemaran main bola menjadikan aku semakin hari semakin lihai menghindar dari serangan sapu lidi..Luv U Bunda..

Tiba di mesjid, dengan masih ngos-ngosan segera ikut bergabung di shaf paling belakang, lumayan masih bisa ikut rakaat ke tiga. Kemudian setelah setelah sholat dan dzikir selesai, kita belajar mengaji, tentu saja karena kelelahan main bola, frekuensi menguap yang maksimal membuat guru ngaji seolah memberi nasihat untuk segera tidur...nguantuk..Adzan Isya, sholat ...kabur dari mesjid! Kitab kuning bertuliskan huruf-hurup arab tanpa tanda baca itu membuatku lebih memilih kabur,hmm tidur sepertinya lebih menyenangkan..

Hari-hari berlalu, tahun berganti..keinginan untuk menjadi pemain bola musnah, berganti-ganti dengan keinginan yang lain, jadi pemain band lah, jadi pengusaha lah..banyak lagi. Tapi dari keinginan yang kandas itu, timbulah pertanyaan, mengapa negara berpenduduk banyak seperti ini tidak memiliki Tim sepakbola yang tangguh? Apakah anak-anak kecil yang bermain bola di pesisir pantai, di pinggir jalan, di sekolah-sekolah, di atas bukit dari Sabang sampai Merauke memiliki nasib yang sama denganku, keinginan jadi pemain bola kandas karena menjadi pemain bola bukan pilihan yang bagus? Benarkah dari dua ratus juta penduduk ini tak ada yang memiliki bakat bermain bola seperti bakat-bakat yang dimiliki anak-anak di Amerika Latin sana?

Ada kabar dari Departemen Desas desus bahwa tahun duaribu dua puluh sekian, Indonesia akan mengajukan diri jadi tuan rumah piala dunia. Mudah-mudahan tidak hanya sekedar menyiapkan infrastruktur, tapi juga mulai sekarang pemerintah menjaring anak-anak berbakat dari seluruh negeri untuk dibentuk menjadi tim sepakbola yang tangguh, mudah-mudahan pemerintah tidak hanya ingin jadi tuan rumah tetapi memiliki tekad untuk menjadi juara piala dunia. Indonesia jadi juara piala dunia? Mengapa tidak?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sapamadegan

Bandung,23 Januari 2011

Usum Hujan, Israel jeung Tambang